5jenis rasa malu dan ciri-cirinya. Rasa malu adalah perasaan yang sangat umum. Semua manusia mengalaminya pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil. Tapi itu bukan fenomena yang sederhana seperti yang terlihat, karena bisa memiliki ekspresi yang sangat berbeda tergantung pada situasi atau orangnya. Dalamkhutbah jum'at (6/6/2014) di Masjid Agung Tasikmalaya, membahas tentang manusia harus punya rasa malu. Katanya "Rasa malu itu terdapat dalam kepala dan perut". Rasa malu pada kepala, yaitu berkenaan dengan berfikir hal positif. Tidak boleh berfikir untuk saling menjatuhkan sesama manusia, karena kita semua adalah sama sebagai makhluk Orangyang beriman pasti memiliki sifat malu dalam menjalani kehidupan. Orang yang tidak memiliki rasa malu berarti seseorang bisa dikatakan tidak memiliki iman dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah SAW bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 (tujuh puluh) atau 60 (enam puluh) cabang, cabang iman yang tertinggi adalah Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. Rasa malu adalah pola perilaku yang ditandai dengan kesulitan komunikasi dan hambatan sosial. Namun, itu bukan penyakit, dan dapat diatasi jika keterampilan yang tepat dikembangkan. Rasa malu adalah kecenderungan perilaku yang stabil yang ditandai dengan tidak diperhatikan, tidak diperhatikan dan tidak diekspresikan secara normal, yang biasanya membatasi perkembangan sosial. Orang pemalu merasa sulit untuk mengungkapkan pendapat mereka, membangun percakapan, menunjukkan kepribadian mereka di depan umum, dan berfungsi dengan cara yang riang dalam pengaturan sosial. Sangat penting untuk menyebutkan bahwa rasa malu bukanlah penyakit atau gangguan psikologis, itu hanyalah ciri kepribadian dan pola perilaku tertentu yang dimiliki banyak orang. Indeks artikel Bisakah itu memiliki konsekuensi negatif? Menjadi pemalu dapat menurunkan tingkat keterampilan seseorang, memaksa mereka untuk berusaha lebih keras untuk melakukan kegiatan sosial yang sederhana , dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan masalah dengan harga diri atau kepuasan pribadi. Ini bukan untuk mengatakan bahwa pemalu adalah sifat kepribadian yang negatif dan merugikan dan bersikap terbuka adalah sifat kepribadian yang positif dan bermanfaat. Ekstroversi dapat menyebabkan masalah atau ketidaknyamanan tertentu dengan cara yang sama seperti rasa malu. Pertanyaan ” berhenti” terletak pada bagaimana rasa malu dikelola, bagaimana kita menyesuaikannya dengan cara kita bersikap dan berperilaku, dan efek apa yang ditimbulkannya pada kita sehari-hari. Manajemen rasa malu yang buruk dapat menyebabkan masalah dan ketidakpuasan tertentu, dan dapat menyebabkan munculnya fobia sosial. Beda dengan fobia sosial Fobia sosial adalah ketakutan radikal, ekstrim dan maladaptif terhadap situasi sosial, di mana tingkat kecemasan yang tinggi dialami ketika ini tidak dapat dihindari. Dalam rasa malu ini tidak terjadi, sehingga orang tersebut dapat berfungsi dengan benar meskipun ada kecemasan atau kegugupan yang mungkin mereka miliki dalam situasi sosial tertentu . Namun, sangat penting bahwa orang pemalu yang tidak puas dengan fungsi sosial mereka, belajar mengelola rasa malu mereka untuk menurunkan tingkat kecemasan mereka dan memperoleh gaya relasional yang optimal. Ada beberapa perbedaan ketika memutuskan apa yang cenderung menjadi sumber rasa malu. Ada penulis yang mempertahankan bahwa itu adalah ciri kepribadian bawaan yang dimiliki sepanjang hidup dan ada penulis yang mempertahankan bahwa itu adalah gaya perilaku yang diperoleh selama masa kanak-kanak dan remaja. Kemungkinan besar itu adalah campuran dari sifat dan pengalaman pribadi. Akan tetapi, meskipun sifat pemalu merupakan salah satu ciri kepribadian, yaitu sifat pemalu merupakan bagian dari sifat pemalu, bukan berarti tidak dapat dibalik. Untuk mengatasi rasa malu Anda, Anda tidak perlu mengubah cara hidup Anda. Anda tidak harus mulai menjadi orang yang terbuka dan benar-benar menentang siapa Anda sekarang. Untuk mengatasi rasa malu Anda, yang harus Anda lakukan adalah mengenal diri sendiri dan cara Anda bertindak dengan baik, sehingga Anda dapat mengelola penarikan diri Anda dengan baik dan memastikan bahwa hal itu tidak mengubah fungsi sosial Anda. 10 langkah untuk mengatasi rasa malu 1. Analisis rasa malu Anda Seperti yang telah kita katakan, langkah pertama untuk mengatasi rasa malu adalah mengenal diri sendiri dengan baik dan mengenal rasa malu Anda lebih baik lagi. Berhentilah untuk berpikir dan menganalisis bagaimana rasa malu Anda bekerja. Bagaimana dan kapan rasa malu muncul? Tindakan apa yang mencegah Anda dari mengambil? Perasaan apa yang Anda miliki di saat – saat itu? Apa gagasan umum yang Anda miliki tentang rasa malu Anda? Bagaimana perasaan Anda tentang itu? Ambil pensil dan kertas dan buat kolom dengan masing-masing pertanyaan ini. Kemudian cobalah untuk menjawabnya dan tulis informasi sebanyak mungkin tentang masing – masing dari mereka. Informasi ini akan membantu Anda menghadapi dan membatasi masalah, mengetahui bagaimana rasa malu Anda bekerja dan memiliki kendali yang lebih besar atas hal itu selama langkah-langkah berikut. 2. Terima apa adanya Langkah kedua yang harus Anda lakukan adalah membangun sikap positif untuk mengatasi rasa malu Anda. Sikap ini harus didasarkan pada penerimaan diri Anda dan karena itu rasa malu Anda. Seperti yang telah kita katakan, menjadi pemalu bukanlah atribut negatif, itu bukan patologi atau aspek disfungsional dari kepribadian Anda. Memang benar bahwa rasa malu yang ekstrem dapat membuat Anda menderita masalah yang lebih besar seperti fobia sosial. Namun, memiliki cara hidup yang berlawanan, menjadi terlalu terbuka, juga dapat menyebabkan Anda menderita gangguan kepribadian histrionik atau narsistik. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan karena malu atau tidak malu, tetapi salah mengelola rasa malu Anda. Ini harus diingat karena sikap yang harus Anda ikuti selama proses tidak boleh didasarkan pada keinginan untuk sepenuhnya memusnahkan rasa malu Anda atau mendapatkan cara untuk menjadi sebaliknya. Rasa malu seharusnya tidak menjadi bagian dari kepribadian Anda yang ingin Anda hilangkan, tetapi bagian dari cara hidup Anda yang ingin Anda pelajari untuk dikelola. 3. Rinci situasi di mana Anda tidak ingin terlalu malu. Kemudian, Anda harus menentukan situasi di mana rasa malu Anda memanifestasikan dirinya dan Anda melihat bahwa karena itu Anda tidak berfungsi seperti yang Anda inginkan. Buatlah daftar semua kegiatan di mana Anda menyadari bahwa Anda sangat pemalu, Anda tidak dapat berkomunikasi dengan baik, sangat sulit bagi Anda untuk mengekspresikan diri atau Anda tidak berhubungan seperti yang Anda inginkan. Situasi ini pada dasarnya bersifat sosial dan jika Anda menganalisisnya dengan baik, Anda dapat memikirkan banyak hal Ketika Anda bersama teman-teman minum, di rapat kerja, ketika Anda harus mengekspos atau menjelaskan sesuatu di depan umum, ketika Anda bertemu tetangga Anda di lift, ketika Anda harus meminta tagihan di restoran … Cobalah untuk membuat daftar semua situasi di mana Anda menyadari bahwa rasa malu Anda memiliki pengaruh yang berlebihan pada cara Anda berperilaku. Kemudian urutkan dari relevansi tertinggi hingga terendah sesuai dengan kriteria Anda. 4. Deteksi pikiran otomatis Anda Setelah Anda mendefinisikan semua situasi, hafalkan dengan baik dan ingatlah. Dan langkah selanjutnya adalah mendeteksi pikiran otomatis yang Anda miliki dalam situasi tersebut. Pikiran otomatis adalah hal-hal yang muncul dalam pikiran secara otomatis pada saat tertentu, dan yang jarang kita sadari. Kita tidak sadar karena ketika mereka muncul secara otomatis kita tidak berhenti untuk memikirkannya, oleh karena itu muncul di kepala kita, kita mengabaikannya dan melanjutkan hidup kita. Pikiran-pikiran ini bisa seperti “Jika saya memanggil pelayan, mungkin dia tidak akan mendengar saya, orang-orang di meja sebelah akan melakukannya dan mereka akan menganggap saya konyol.” Pikiran yang muncul di benak Anda ini membuat Anda sulit untuk meminta tagihan di restoran. “Jika saya mengatakan sesuatu kepada tetangga saya di lift, dia akan berpikir bahwa topik yang saya angkat tidak masuk akal.” Pikiran ini bisa membuat Anda memilih untuk diam. “Jika saya ikut campur dalam percakapan teman-teman saya, mereka akan berpikir bahwa komentar saya tidak menarik dan mereka akan mengabaikan saya.” Pemikiran ini dapat membuat Anda tidak berpartisipasi dalam percakapan. Jadi, yang harus Anda lakukan adalah menjadi sangat perhatian dalam situasi di mana rasa malu Anda muncul, untuk dapat menyadari pikiran – pikiran ini dan kemudian menuliskannya. 5. Bekerja untuk mengubahnya Setelah kita memiliki pikiran otomatis yang terdaftar, tujuannya adalah agar Anda dapat mengubahnya. Langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah menyadari bahwa pikiran yang muncul di kepala Anda tidak memiliki kepastian kebenarannya. Artinya, Anda tidak memiliki bukti bahwa jika Anda mengatakan sesuatu di lift, tetangga Anda menganggap Anda konyol, atau teman Anda atau orang di meja sebelah melakukannya ketika Anda meminta tagihan. Semua pikiran otomatis ini meningkatkan rasa malu Anda dan mencegah Anda berhubungan dengan benar. Jika setiap orang memiliki pemikiran seperti ini, tidak ada yang akan berhubungan dengan benar. Setelah Anda melihat dengan jelas bahwa pikiran-pikiran ini tidak harus benar, ubahlah menjadi pikiran yang lebih tepat. Sebagai contoh “Jika saya meminta tagihan dan pelayan tidak mendengar saya dan orang-orang di meja sebelah melakukannya, mereka akan berpikir bahwa pelayan memiliki banyak pekerjaan dan tidak melayani pelanggannya dengan baik.” Tuliskan pemikiran alternatif untuk setiap pemikiran otomatis yang Anda catat di poin 4. 6. Gunakan pemikiran alternatif Setelah Anda memiliki pemikiran alternatif untuk setiap pemikiran otomatis, bacalah beberapa kali untuk mengingat dengan jelas hubungan antara keduanya. Dengan cara ini, mulai sekarang, setiap kali Anda berada dalam situasi apa pun yang telah Anda jelaskan pada poin 3 dan Anda mendeteksi salah satu pikiran otomatis yang telah Anda daftarkan di poin 4, Anda harus segera memikirkan pemikiran alternatifnya yang dijelaskan dalam poin 5. Jadi, setiap kali Anda berada dalam situasi di mana reaksi pertama Anda adalah rasa malu, pikiran otomatis Anda yang memanifestasikan rasa malu Anda tidak akan lagi terbantahkan dan Anda harus berurusan dengan pemikiran alternatif. Fakta ini akan membuat Anda memiliki kapasitas yang lebih besar dalam setiap situasi untuk menilai secara memadai apa yang bisa terjadi jika Anda mengekspresikan diri dan oleh karena itu peluang Anda untuk melakukannya akan meningkat . 7. Ekspos diri Anda pada situasi yang paling sederhana Untuk mempraktikkan latihan Anda dalam pikiran, akan lebih mudah jika Anda terlebih dahulu mengekspos diri Anda pada situasi-situasi yang memberi Anda lebih sedikit potongan. Dengan cara ini, jika Anda melakukan latihan memodifikasi pemikiran otomatis dalam situasi sederhana, kemungkinan besar Anda akan berani mengekspresikan diri dan mampu mengatasi rasa malu. 8. Ubah keyakinan Anda Setelah Anda dapat mengubah pikiran otomatis Anda, Anda harus fokus pada modifikasi keyakinan Anda yang lebih umum. Anda harus mendeteksi semua keyakinan Anda seperti berikut “Saya pemalu dan itu sebabnya saya tidak berhubungan”, “jika saya terlalu banyak mengekspresikan diri, mereka akan berpikir bahwa saya konyol”, “jika saya menunjukkan diri saya secara berlebihan, orang tidak akan menyukai saya”, dll. Setelah Anda mendeteksi semuanya, verifikasi keakuratannya. Mengapa mereka harus benar jika saya sudah berhasil berhubungan dengan baik dalam berbagai situasi? Mengapa keyakinan ini pantas jika tidak ada yang pernah mengatakan kepada saya bahwa saya konyol? Cari alasan mengapa Anda memegang keyakinan ini dan Anda akan melihat bahwa Anda benar-benar sudah mulai meninggalkan rasa malu Anda. 9. Bersantai Meskipun latihan yang telah kita lakukan sejauh ini akan membantu Anda menghilangkan rasa malu dalam banyak situasi, Anda pasti akan terus mengalami kecemasan dan kegugupan dalam banyak situasi . Karena itu, jika Anda menyadari bahwa terkadang Anda terus menjadi terlalu gugup, akan lebih mudah bagi Anda untuk belajar rileks. Anda dapat melakukan latihan berikut selama sekitar 10 menit ketika kecemasan mengambil alih. Bernapaslah dalam-dalam dengan diafragma Anda, perhatikan bagaimana udara bergerak masuk dan keluar dari perut Anda. Dalam setiap tarikan napas panjang, ulangi kata atau frasa yang memancarkan ketenangan seperti “semuanya baik-baik saja” atau “Saya tenang”, dan bayangkan pemandangan yang tenang . Jika situasinya memungkinkan, Anda dapat memutar lagu relaksasi di latar belakang dengan volume rendah. 10. Ekspos diri Anda secara bertahap Akhirnya, melalui semua strategi yang dibahas dalam poin sebelumnya, secara bertahap paparkan diri Anda pada situasi yang berbeda. Jelas, jika Anda memulai dengan situasi yang paling membuat Anda cemas, itu akan menghabiskan biaya lebih banyak daripada jika Anda memulai dengan yang termudah dan, saat Anda bekerja dengan baik di dalamnya, Anda melanjutkan dengan yang paling sulit. Untuk melakukan ini, Anda dapat menggunakan daftar yang Anda buat di poin 3 dan dengan sengaja mengekspos diri Anda ke semua situasi secara bertahap. Dan bagaimana Anda melakukannya untuk mengatasi rasa malu Anda? Bagikan untuk membantu pembaca. Terima kasih banyak! Referensi Carnwath T. Miller D. Terapi Kognitif. Dalam Carnwath T. Miller D. Psikoterapi Perilaku dalam Perawatan Primer Manual Praktis. Edisi ke-1. Martinez Roca. Barcelona, ​​1989. Elisardo Becoña dkk. Panduan pengobatan dan panduan untuk praktik psikologis klinis Pemandangan dari klinik. Peran Psikolog. Madrid, 2004. Espada, JP, Olivares, J. dan Mendez, FX 2005. Terapi psikologis. Kasus-kasus praktis. Madrid Piramida. Pérez lvarez, M., Fernández Hermida, JR, Fernández Rodríguez, C. dan Amigó Vazquez, I. 2003. Panduan untuk perawatan psikologis yang efektif. Jilid I, II dan III. Madrid Piramida. Mengapa seseorang bisa memiliki sifat pemalu? Penyebab munculnya sifat pemalu masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Thalia Eley, seorang profesor genetika perilaku perkembangan dari King’s College London, percaya bahwa rasa malu sebagai temperamen, dan temperamen adalah bagian dari kepribadian. Dilansir oleh BBC, Eley mengungkapkan bahwa sifat pemalu hanya dipengaruhi oleh gen sebesar 30%. Sisanya didapat sebagai respons terhadap lingkungan yang lebih ia tekankan sebagai faktor munculnya sifat tersebut. Apakah menjadi pemalu adalah hal yang buruk? Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak yang masih beranggapan bahwa sifat pemalu adalah kelemahan yang harus diperbaiki. Pasalnya, orang pemalu acap kali dianggap sulit berhubungan dan bersosialisasi dengan orang lain. Anggapan tersebut memang tidak sepenuhnya salah, namun mengatakan sifat pemalu sebagai kelemahan juga tidak benar karena merupakan bentuk emosi yang sangat wajar. Justru, sifat ini bisa mendatangkan beberapa keuntungan dalam situasi dan kondisi tertentu. Orang yang memiliki sifat ini biasanya lebih sensitif akan perasaan dan emosi orang lain sehingga membuat mereka menjadi pendengar yang baik, terutama saat orang lain sedang bercerita. Selain itu, sifat dusun pemalu dalam bahasa Sunda juga mendatangkan antisipasi lebih akan sesuatu. Ini artinya, orang yang dusun diyakini memiliki kewaspadaan lebih tinggi terhadap risiko. Mereka dapat membuat sebuah keputusan dengan lebih baik jika memahami baik-baik risikonya. Sifat ini bukanlah suatu hal yang negatif selama tidak menyebabkan masalah yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini menjadi masalah adalah ketika rasa malu sudah sangat mengganggu, atau bahkan berkembang menjadi gangguan kecemasan sosial. Gangguan kecemasan sosial dapat menimbulkan berbagai emosi negatif, seperti rasa takut dan cemas berlebihan. Pikiran negatif ini akan terus membayangi mereka lebih lama, bahkan sampai berminggu-minggu. Sementara, rasa malu biasa tidak selalu disertai dengan pikiran negatif. Gejala gangguan kecemasan sosial sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Bahkan, untuk sekadar berbicara pada kasir di toko saja penderitanya akan merasa panik dan mengalami gejala fisik yang parah. Kondisi ini yang membutuhkan perawatan medis dari dokter. Sementara orang pemalu hanya menunjukkan sifatnya pada situasi tertentu, dapat mereda sendiri dan dikendalikan, juga dapat dihilangkan dengan membangun kepercayaan diri. Apa perbedaan pemalu dan introvert? Anda mungkin berpikir, apakah mungkin orang yang pemalu dan introvert itu sama? Media sering kali mengaitkan kepribadian introvert dengan sifat malu dan takut berinteraksi sosial. Padahal, keduanya berbeda, lho. Sifat pemalu berakar dari rasa cemas akan pandangan orang lain terhadap diri sendiri. Sementara itu, introversion adalah preferensi seseorang untuk memperoleh energi, yaitu berasal dari dirinya sendiri. Orang yang introvert merasa lebih cepat terkuras energinya ketika berinteraksi dengan orang lain. Biasanya, ia akan mengisi ulang energinya dengan cara menghabiskan waktu dengan diri sendiri, seperti membaca buku, mendengarkan musik, atau berjalan kaki sendirian. Sekilas, orang yang pemalu dan introvert terlihat sama karena keduanya cenderung menghindari interaksi sosial. Namun, keduanya memiliki dorongan yang berbeda. Introvert memilih untuk menghindari aktivitas sosial karena mereka lebih mudah lelah saat dikelilingi banyak orang. Mereka butuh waktu sendiri untuk mengembalikan energinya. Saat berinteraksi, tak semua introvert memiliki sifat malu. Bisa saja seorang introvert senang dan pandai bersosialisasi, namun tenaganya lebih mudah terkuras jika harus menghabiskan waktu terlalu lama dengan orang lain. Sementara itu, orang yang pada dasarnya bersifat pemalu menghindari aktivitas sosial karena mereka takut akan pandangan orang lain terhadap dirinya. Mereka cenderung mengkritik diri sendiri dan terlalu banyak berpikir overthinking. Seorang muslim yang hakiki hendaknya memperhatikan sifat-sifat yang ada pada dirinya, jika sifat yang ada pada dirinya itu dipuji oleh agama Islam maka hendaknya ia menjaga dan memeliharanya. Sebaliknya jika sifat itu dibenci dan dilarang oleh Islam, maka hendaknya ia menghilangkan dan menjauhkan diri darinya. Diantara sifat yang hendaknya dimilki oleh seorang muslim adalah rasa malu. Lalu apa urgensi dari rasa malu tersebut? Bagaimana hakikatnya? Pada edisi ini akan kita paparkan sekilas tentang rasa malu tersebut. Semoga artikel singkat ini dapat kita ambil manfaatnya. Selamat membaca! Urgensi Rasa Malu Rasa malu merupakan akhlak Islami yang sangat penting untuk diperhatikan oleh seorang muslim. Di bawah ini adalah beberapa hal yang menunjukkan akan pentingnya rasa malu Rasa malu Cabang dari keimanan اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ. “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.” Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr no. 2800. Hadits di atas merupakan bukti bahwa rasa malu itu sangat penting karena ia merupakan cabang dari keimanan. Seorang yang sangat sedikit rasa malunya maka dipertanyakan kwalitas keimanannaya karena seorang tanpa rasa malu akan berbuat sesuka hati. Nabi pernah bersabda yang artinya “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’” HR. Bukhâri no. 3483, 3484, 6120 Rasa Malu Akan Senantiasa Mendatangkan Kebaikan Dengan rasa malu seseorang akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Ia akan berfikir terlbih dahulu sebelum berbuat. Ia khawatir perbuatannya itu akan mempermalukannya. Mak ia akan lebih menjaga diri dari berbuat sesuatu yang tidak bermanfaat. Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa rasa malu akan senantiasa mendatangkan kebaikan. Nabi bersabda اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” Muttafaq alaihi 2. Nabi Muhammad adalah seorang Pemalu Nabi kita Muhammad memang sosok yang memiliki akhlak yang terpuji dan pantas untuk dicontoh oleh umat manusia. Salah satu di antara sifat terpuji beliau adalah adanya rasa malu yang sangat pada diri beliau. Allah berfirman, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya, tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar, dan Allah tidak malu menerangkan yang benar”. QS. al-Ahzâb 53. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا. “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.” no. 6119 iii. Rasa malu adalah ciri khusus manusia Ibnul Qayyim Al Jauziyah berkata, وخلق الحياء أفضل الأخلاق وأجلها وأعظمها قدراً وأكثرها نفعاً، بل هو خاصية الإنسانية، فمن لا حياء فيه ليس معه من الإنسانية إلا اللحم والدم وصورتهما الظاهرة. Yang artinya “Akhlak malu adalah salah satu akhlak yang paling utama, paling tinggi, paling agung, dan paling banyak manfaatnya. Malu adalah karakter khusus manusia. Artinya, siapa yang tak punya malu maka tak tersisa sisi kemanusiaannya selain daging, darah, dan raganya. Lihat Miftah Daaris Sa’adah hlm. 277 Rasa Malu yang Dilarang Ada jenis rasa malu yang dilarang oleh syari’at. Di antara contohnya adalah malu menampakan keislaman. Dalam hal ini Allah memberikan predikat baik untuk para da’i yang menyampaikan kebenaran tanpa ada rasa malu untuk menampakkan keislamannya. Allah berfirman yang artinya “Dan siapakah yang lebih baik perkataanya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal sholeh dan berkata sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang muslim” QS. Al-Fushilat 33. Rasa malu lainnya yang dilarang dalam Islam adalah malu dalam menuntut ilmu agama Islam. Tidak jarang kita jumpai di muhadhoroh, seminar Islami atau yang lainnya banyak orang yang hendak bertanya tapi ia malu. Akhirnya rasa malu tersebutlah yang menghalanginya dari mendapatkan ilmu. Sungguh benar perkataan seorang ulama’ لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ Yang artinya “Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu” Hakikat Rasa Malu Kepada Allah Rasa malu kepada Allah yang hakiki adalah malu untuk melanggar perintah dan larangan Allah, malu untuk bermaksiat, malu karena tidak menunaikan kewajiban. Bukan malu yang dilarang sebagaimana disebutkan di atas. Nabi bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Malulah kalian terhadap Allah dengan malu yang sebenarnya”. Para sahabat berkata Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sungguh kami merasa malu kepada-Nya, alhamdulillah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Bukan itu maksudnya, akan tetapi merasa malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya adalah dengan menjaga kepala dan anggota badan yang ada padanya dari perbuatan maksiat, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengannya dari perkara yang haram, dan selalu mengingat kematian dan kehancuran tubuh dalam kubur, barangsiapa yang menginginkan balasan kebaikan di akhirat maka dia akan meninggalkan perhiasan dunia, maka siapa yang melakukan itu semua berarti dia telah merasa malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya” Hr. Tirmidzi dan Ahmad. Dihasankan oleh Albani dalam Shohihul Jami’ No 935 Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa rasa malu memang penting dan rasa malu kepada Allah jauh lebih penting. Dan hakikat rasa malu kepada Allah tersebut adalah malu untuk brbuat maksiat dan malu karena telah meninggalkan kewajiban. Allahu a’lam. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Dan juga menjadi amal jariyah sang penulis. Amin yaa mujiibas saailin. MALU ADALAH AKHLAK ISLAMOleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه اللهعَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رواه البخاريDari Abu Mas’ûd Uqbah bin Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”TAKHRÎJ HADÎTS Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh Al-Bukhâri no. 3483, 3484, 6120, Ahmad IV/121, 122, V/273, Abû Dâwud no. 4797, Ibnu Mâjah no. 4183, ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath no. 2332, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ IV/411, VIII/129, al-Baihaqi X/192, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3597, ath-Thayâlisi no. 655, dan Ibnu Hibbân no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân.PENJELASAN HADÎTS Pengertian Malu Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[1]Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah hidup, dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa hujan, tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[2]Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak perangai yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[3]Keutamaan Malu 1. Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq alaihi]Dalam riwayat Muslim disebutkan,اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.“Malu itu kebaikan seluruhnya.” [4]Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang Malu adalah cabang keimanan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”[5]3. Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”[6]4. Malu adalah akhlak para Malaikat. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”[7]5. Malu adalah akhlak Islam. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.”[8]6. Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat. Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”[9]Abu Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.”[10]7. Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”[11]8. Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[12]Malu Adalah Warisan Para Nabi Terdahulu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…”Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam . Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu.[13]Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu.[14]Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Adalah Sosok Pribadi yang Sangat Pemalu Allah Azza wa Jalla berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya, tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar, dan Allah tidak malu menerangkan yang benar. [al-Ahzâb/ 3353]Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata,كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.“Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.”[15]Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah tabiat. Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan muktasab, sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab yang diperoleh berada pada puncak tertinggi.”[16]Makna Perintah Untuk Malu dalam Hadits Ini Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, di antaranya 1. Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ…perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[Fushilat/4140]2. Perintah tersebut mengandung arti penjelasan. Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[17]Sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[18]3. Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.”[19]Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[20]Malu Itu Ada Dua Jenis 1. Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”[21]Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ takwa.”[22]2. Malu yang timbul karena adanya usaha. Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh mengenal Allah Azza wa Jalla dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[23]Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , Abu Sufyan berkata,فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.“Demi Allah Azza wa Jalla , kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.”[24]Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai Malu Menurut Syari’at Islam Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.“Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.”[25]Malu yang Tercela Qâdhi Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.[27]Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.“Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.”[28]Ummul Mukminin Âisyah radhiyallâhu anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.”[29]Para wanita Anshâr radhiyallâhu anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang Sulaim radhiyallâhu anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi berjimâ’?” Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[30]Wanita Muslimah dan Rasa Malu Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami…” [Al-Qashash/28 25]Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj bersolek, campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat.[31] Nas-alullaah as-salaamah wal suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut dari Rasa Malu Buah dari rasa malu adalah iffah menjaga kehormatan. Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa setia/menepati janji.Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.[32]Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”[33]FAWÂÎD HADÎTSMalu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah dari malu adalah iffah menjaga kehormatan dan wafa’ setia.Malu adalah bagian dari iman yang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang Shallallahu alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat mempunyai sifat dari malu adalah tidak tahu malu muka tembok, ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan. Padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ. “Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.”[34]Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak dan Sab’ Mufrad, karya Imam Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul Hisân ala Shahîh Ibni Sunnah, karya Imam Kabîr, karya Imam Shaghîr, karya Imam Auliyâ’, karya Imam Abu Nu’ wat Tarhîb, karya Imam Bâri, karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni, cet. Dârul Sâlikîn, karya Ibnul Qayyim, cet. Dârul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’, karya Ibnu Hibbân Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim al-Ahâdîts al-Jâmi’ish wa Fawâid minal Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al- fî Dhau-il Qurânil Karîm wal Ahâdîtsi ash-Shahîhah, karya Syaikh Sâlim bin Ied Nâzhirîn Syarah Riyâdhish Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim bin Ied al-Hilâli.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat Raudhatul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ hal. 53 [2] Madârijus Sâlikîn II/270. Lihat juga Fathul Bâri X/522 tentang definisi malu. [3] Lihat al-Haya’ fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah hal. 9. [4] Shahîh no. 6117 dan Muslim no. 37/60, dari Shahabat Imran bin Husain. [5] Shahîh dalam al-Adâbul Mufrad no. 598, Muslim no. 35, Abû Dâwud no. 4676, an-Nasâ-i VIII/110 dan Ibnu Mâjah no. 57, dari Shahabat Abû Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr no. 2800. [6] Shahîh Dawud no. 4012, an-Nasâ-i I/200, dan Ahmad IV/224 dari Ya’la Radhiyallahu anhu. [7] Shahîh no. 2401. [8] Shahîh Mâjah no. 4181 dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr I/13-14 dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 940. [9] Shahîh no. 24, 6118, Muslim no. 36, Ahmad II/9, Abû Dâwud no. 4795, at-Tirmidzî no. 2516, an-Nasâ-i VIII/121, Ibnu Mâjah no. 58, dan Ibnu Hibbân no. 610 dari Ibnu Umar radhiyallâhu anhu. [10] Fathul Bâri X/522. [11] Shahîh I/22, ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr I/223, al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb no. 3827, Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ IV/328, no. 5741, dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3200. [12] Shahîh II/501, at-Tirmidzî no. 2009, Ibnu Hibbân no. 1929-Mawârid, al-Hâkim I/52-53 dari Abû Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 495 dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3199. [13] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/497 dan Qawâ’id wa Fawâ-id hal. 179-180. Cet. I Dâr Ibni Hazm. [14] Lihat Syarh al-Arba’în hal. 83 karya Ibnu Daqîq al-Îed. [15] Shahîh no. 6119. [16] Fathul Bâri X/522. [17] Shahîh no. 110, Muslim no. 30, dan selainnya dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat. [18] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/498 dan Qawâ’id wa Faawâid hal. 180 [19] Fathul Bâri X/523. [20] Lihat Madârijus Sâlikîn II/270. [21] Shahîh no. 6117 dan Muslim no. 37. [22] Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/501. [23] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hal. 181. [24] Shahîh no. 7. [25] Hasan no. 2458, Ahmad I/ 387, al-Hâkim IV/323, dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 4033. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 935. [26] Fathul Bâri X/522. [27] Lihat Qawâ’id wa Fawâid hal. 182. [28] Atsar shahîh Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-Ilmu bab al-Hayâ’ fil Ilmi dan Ibnu Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil Ilmi wa Fadhlihi I/534-535, no. 879. [29] Atsar shahîh Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-Ilmu bab al-Hayâ’ fil Ilmi secara mu’allaq. [30] Shahîh no. 130 dan Muslim no. 313. Maksud hadits ini ialah, wajib bagi laki-laki dan wanita mandi janabat apabila ia mimpi jimâ’ bersetubuh lalu keluar mani. Apabila ia mimpi jima’ tetapi tidak keluar mani maka tidak wajib mandi. Adapun jika suami-istri jimâ’ bersetubuh keduanya wajib mandi meskipun tidak keluar mani. [31] Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah hal. 153. [32] Raudhatul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ hal. 55. [33] Ibid hal. 55. [34] Shahîh no. 6096 dan Muslim no. 2990 dari Abû Hurairah .

berikut yang bukan urgensi memiliki rasa malu adalah